Ulama-ulama oposan

Author : Subhan SD
Title : Ulama-ulama oposan
Publication : Bandung, Pustaka Hidayah, 2000
Subject :biografi tokoh Islam
Call Number : 2x9.8/sub/u
Location : STAIH (2), Pesantren (...), SDIT (...), TK (...)
Document : pdf

1 komentar:

Bung Hari mengatakan...

Kyai Zainal, dan kyai-kyai lain yang diceritakan dalam buku setebal 198 ini, tampaknya menginternalisasi betul wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut.

Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (early warning) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa.

Inilah sesungguhnya yang dapat diambil dari buku ini; perlunya kemandirian sikap seorang kyai. Seperti diketahui, belakangan ini peran kyai sebagai penggerak ataupun makelar budaya (cultural broker) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang memudar. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang kyai tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik kyai tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat.

Memang, menjadi oposan kini bisa berarti macam-macam. Melawan kapitalis yang rakus juga sebuah perlawanan. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.

Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang kyai menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini.

Yang ada hanya gemuruh dukungan para kyai untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah kyai di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.

Dalam konteks yang beginilah, buku keluaran tahun 2000 ini menemukan relevansinya. Pengamat pesantren, aktivis gerakan sosial, dan terutama, para santri (calon kyai) mesti membaca buku ini—untuk dijadikan teladan dan bahan pelajaran di masa depan.

Sumber: www.wahidinstitute.org